Candrabhirawa / Narasoma lanjutan :
Perang tanding Anggana Putra melawan Taksaka berlangsung hebat. Beberapa kali Taksaka melilit tubuh Anggana Putra dan hendak menghancur luluhkan tulang-tulangnya, tapi tubuh raksasa itu seperti memiliki kekuatan yang melebihi pasukan gajah Erawati. Hingga pada akhirnya, sang Taksaka tidak mampu menandingi kesaktian Anggana Putra. Taksaka ditangkap, mulutnya dirobek hingga kepalanya terbelah menjadi dua. Lenyap wujud Taksaka tanpa bekas, berubah menjadi sosok raksasa.
Raksasa jelmaan Taksaka itu merangsak maju menyerang Anggana Putra. Dua raksasa mengadu kesaktian, mengadu kedigjayaan, saling pukul, saling dorong, dan saling banting. Untuk beberapa saat pertempuran diantara keduanya seperti seimbang, sama-sama tangkas dan cekatan, namun namun pada satu kesempatan putra Resi Jaladara itu berhasil melukai dan membunuh musuhnya. Ajaib! Setiap tetes darah yang keluar dari tubuh raksasa jelmaan Taksaka, dari setiap darahnya yang membasahi rerumputan, bebatuan, dan benda apapun akan berubah wujud menjadi raksasa yang besar dan bentuknya sangat sama satu antara lainnya. Belum habis rasa heran Anggana Putra, raksasa-raksasa itu menyerangnya. Anggana Putra dikepung, dikeroyok, dan diserang dari segala penjuru. Anggana Putra berusaha melawan, akan tetapi setiap ia mampu melukai dan membunuh raksasa-raksasa itu, maka tetesan darah mereka berubah menjadi raksasa. Semakin banyak raksasa itu terlukai, maka tetesan darahnya menjadi raksasa yang jumlahnya kian bertambah banyak dari sebelumnya, mati satu tumbuh seribu. Karena merasa terdesak, Anggana Putra segera melompat jauh menghindari kepungan bala raksasa. Dari tempat yang jauh Anggan Putra segera melakukan meditasi, mengheningkan cipta, merapatkan kedua tangannya menguncupkan seluruh panca indranya, sidakep sinuku tunggal. Melalui wisik ghaib yang diterimanya, Anggana Putra diharuskan tidak melawan, meredam segala nafsunya, menyatukan cipta dan rasa, menunjukan jati dirinya sebagai seorang yang mengalir dalam tubuhnya darah putih. Semilir angin berhembus halus keluar dari setiap lubang tubuhnya, memancar cahaya putih dari tubuhnya, tubuh Anggana Putra murub ngebyar memancarkan cahaya. Saat raksasa-raksasa mengejar, dan mulai berdatangan mendekat, seketika raksasa-raksasa itu sirna melebur menjadi satu, sirna wujud berubah menjadi cahaya."Bopo resi, ampun bopo resi… Aku, Candrabhirawa tidak sanggup melawanmu karena engkau adalah seorang yang dialiri darah putih, untuk itu perkenankan aku mengabdi kepadamu bopo resi... Jika kau membutuhkan aku panggilah aku, Candrabhirawa." Sekelebat cahaya Candrabhirawa merasuk menyusup ke gua garba, meraga sukma menjadi satu dengan Bambang Anggana Putra. Demikian Candrabhirawa akan mengabdi kepada manusia berdarah putih, seperti sebelumnya di jaman Arjuna Sasrabahu, ia mengabdi kepada Sukasrana, dan kini ia kembali mengabdi kepada seorang berdarah putih, Anggana Putra titisan Sukasrana.
Hari-hari selanjutnya, sesuai janji Sanghyang Otipati, dewi Darmastuti turun dari kahyangan. Sang dewi kemudian diperistri oleh Bambang Anggana Putra, mereka hidup rukun saling mengasihi dan menyayangi. Walau bentuk dan rupa Bambang Anggana Putra kini adalah sosok seorang raksasa, tetapi dewi Darmastuti sangat menyintainya, sangat patuh dan berbakti kepada suaminya. Mahligai cinta diantara mereka kian tumbuh merekah seperti mekarnya bunga hingga benih-benih cinta itu kemudian berbuah melahirkan seorang anak.
Anggana Putra dan dewi Darmastuti merasa bahagia karena cinta mereka telah melahirkan seorang putri jelita yang kecantikannya telah mewarisi kecantikan ibunya. Namun kebahagiaan mereka berangsur surut ketika teringat sabda Batara Guru, bahwa kelak sang dewi akan kembali pulang ke kahyangan setelah ia melahirkan seorang anak. Anggana Putra sangat sedih karena ia akan kehilangan istri yang sangat dicintai, begitu pun dengan dewi Darmastuti yang harus meninggalkan bayi kecilnya. Kebahagiaan mereka seperti direnggut paksa, direnggut oleh sebuah dendam, dendam yang tak kunjung padam.
Hari-hari dilalui Anggana Putra bersama putri kecilnya, Pujawati. Ia membesarkan Pujawati dengan cinta dan kasih. Keteguhan hatinya membuat para dewa dewi penghuni kahyangan merasa terharu, kecuali Sanghyang Guru yang masih menaruh dendam kepadanya. Oleh sebab itu Batara Narada menamakannya Bagaspati yang berarti matahari. Matahari yang bersinar terhadap bumi. Begitulah Bagaspati kepada putrinya, ia menyinari, menumbuh kembangkan semangat, memberikan penghidupan serta melindungi dengan penuh kasih sayang. Bersambung untuk kelanjutannya silakan klik di sini
sumber : Kumpulan cerita wayang
Home »
Pewayangan
» Kisah Candrabhirawa / Narasoma II
Kisah Candrabhirawa / Narasoma II
Articel Terkait
0 komentar:
Post a Comment