News Article :

Catatan Belajar | Tips Dan Trik

Home » » Putri Pajarwati / Narasoma V

Putri Pajarwati / Narasoma V

Putri Pajarwati / Narasoma V

Pujawati duduk diserambi pondok menanti sang kekasih yang tidak kunjung pulang, sementara Bagaspati mencoba mencari menantunya, ia khawatir Narasoma tersesat di dalam hutan. Tiba-tiba Pujawati dikejutkan dengan kedatangan seorang pertapa yang menunjukan anak panah, menanyakan apakah ia mengenali anak panah tersebut. Pujawati mengaku menganali anak panah tersebut adalah milik suaminya. Ada rasa was-was pada diri Pujawati, ia khawatir terjadi apa-apa dengan suaminya. Sang pertapa sangat marah setelah mendengar pengakuan Pujawati.

“Aku ingin suamimu memotong jari tangannya untuk menggantikan jari tanganku. Jika suamimu tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya, aku akan mengadukannya kepada dewa Brahma agar menghukumnya!”

Dewi Pujawati sangat mencintai Narasoma, ia sangat sayang kepada suaminya, ia tidak mau suaminya terluka apalagi mendapat hukuman dari dewa Brahma. Maka, Pujawati mengajukan permohonan kepada sang pertapa. Pujawati memotong jari tangannya sendiri sebagai pertanggungjawaban perbuatan suaminya yang telah dianggap salah. Begitulah kesetiaan dewi Pujawati. Ia berani mengorbankan diri untuk keselamatan Narasoma.

Malam itu perasaan Bagaspati sangat tidak enak hingga ia memutuskan kembali pulang ke pertapaannya. Sebagai seorang ayah yang sangat mencintai putrinya, perasaan Bagaspati sangat peka. Ia sangat terkejut setelah melihat salah satu jari putrinya tidak lengkap, dan setelah mendengar cerita Pujawati, betapa murkanya Bagaspati kepada si pertapa, namun Bagaspati sangat terharu atas pembelaan Pujawati kepada suami. Kesetiaan Pujawati sebagai seorang istri begitu sangat terpuji hingga Bagaspati menambahkan namanya menjadi Setyawati, dewi Setyawati.
Disebuah gua di dalam hutan belantara, sang pertapa tengah bermujasmedi di depan kobaran api pemujaan, ia sangat senang karena jari tangannya kini telah terlengkapi oleh jari Pujawati, namun tiba-tiba api pemujaan sang pertapa menjadi besar membuat sang pertapa menjadi terkejut. Lebih terkejut lagi ketika dalam kobaran api yang membesar itu terlihat wajah raksasa Resi Bagaspati dengan tawanya yang membahana.

“Hwahahaha… Ggrrrr… Hai pertapa! Kau boleh mengadu kepada Brahma, bahkan kepada Yamadipati sekalipun, niscaya mereka tidak akan sanggup mencabut nyawaku! Kembalikan jari tangan putriku, atau aku akan menghancurkan tempat pemujaanmu dan membunuhmu!”

Sang pertapa mengigil ketakutan, ia sangat mengenal nama Bagaspati, ia tidak mengira bahwa Pujawati adalah putri dari Bagaspati, maka tanpa syarat apapun sang pertapa segera memotong kembali jari tangan dewi Pujawati yang telah ia satukan diantara jari-jarinya. Begitulah kisah kesetiaan dewi Pujawati terhadap Narasoma hingga saat itu Narasoma sendiri memanggilnya dengan nama Setyawati, sesuai yang diberikan Bagaspati.
Setelah kejadian itu, Narasoma yang telah kembali pulang ke pertapaan, tidak lagi meninggalkan istrinya. Bagaspati senang karena akhirnya Narasoma menjalani hari-harinya kembali bersama Setyawati (Pujawati). Bagaspati kini menggantikan Narasoma mencari hewan buruan, ia mencarikan ayam hutan dan daging menjangan (rusa) untuk dihadiahkan kepada mereka. Untuk beberapa hari Narasoma memendam perasaan yang telah mengganggu pikirannya, walau pada akhirnya ganjalan hati itu tetap saja meracuninya. Pada suatu hari, dalam cengkeramanya Narasoma memberikan sebuah teka-teki kepada istrinya. Walau teka-teki itu ia sampaikan dengan sifat canda dan senda gurau tetapi sempat membuat Setyawati menjadi penasaran. Beberapa kali ia meminta jawaban dari teka-teki tersebut, tapi Narasoma tidak mau menjawabnya, ia hanya menyuruh Setyawati mencoba meminta jawaban kepada ayahnya.

“Bopo resi… Kanda Narasoma memberikan sebuah teka-teki kepada ananda, walau itu hanyalah sebuah teka-teki, namun entah mengapa hati ananda merasa gundah dan dilipur rasa penasaran. Kanda Narasoma selalu menolak tatkala ananda meminta arti dari teka-teki itu, kakanda hanya mengatakan bahwa ananda coba meminta arti tersebut kepada bopo resi”.

"Katakanlah, apa teka-teki itu putriku"

“Seperti hidangan seperiuk nasi putih hangat yang harum bagai pandan wangi, sangat nikmat untuk dirasakan, namun sayang ada satu gabah yang terselip diantara butiran nasi yang ranum itu”.

Bagaspati menarik nafas panjang. Ia sudah mengetahui maksud dari sebaris kata yang disampaikan Narasoma kepada putrinya. Ia tidak menduga bahwa selama ini Narasoma menganggap dirinya hanya merusak keindahan mahligai cintanya kepada Pujawati. Pantas saja jika selama ini Narasoma selalu menghindar dan selalu beralasan untuk tidak buru-buru pulang kembali kepada orang tuanya di Mandaraka, mungkin karena dia merasa malu mempunyai mertua seorang raksasa, kasta yang selama ini dianggap paling rendah martabatnya. Sedih kembali dirasakan oleh Bagaspati, dilain pihak ia sangat mencintai putrinya, apapun akan ia berikan asal putrinya bahagia, walau nyawa yang harus jadi pertaruhannya. Mungkin kematian akan menjadi jalan terbaik dan merupakan akhir dari dendam Bathara Guru kepadanya.

Bagaspati berbisik kepada putri tercintanya agar segera memanggil Narasoma, dan meminta sang putri menyiapkan seperangkat peralatan upacara dan sesaji dengan alasan bahwa Ia akan menganugerahkan Narasoma aji kesaktian Candrabhirawa yang selama ini dimilikinya. Setyawati segera menuruti titah ayahandanya.
Saat Setyawati sibuk menyiapkan perlengkapan upacara, Narasoma telah menghadap Bagaspati, duduk tertunduk. Hatinya yang gelisah menyimpan tanda tanya, apa gerangan yang akan disampaikan ayah mertuanya, jantungnya terasa berdebar.

“Narasoma, bopo akan mencoba memberi jawaban atas teka-teki yang telah disampaikan Setyawati. Bopo akan menjawabnya dihadapan kalian, agar semuanya menjadi jembar, tidak ada lagi yang harus dipendam, tidak ada yang harus dipersalahkan. Selain itu bopo juga akan menganugerahkan aji kesaktian Candrabhirawa kepadamu, namun sebelum itu semua bopo minta kau berjanji. Jaga dan rawatlah Setyawati, kasih sayangilah dia, cintai dia dengan sepenuh kasih sayang. Janganlah kau sia-siakan dia, walaupun dia hanya seorang anak gadis gunung yang jauh dari suba sita dan kekurangan tata pergaulan kerajaan, tetapi dia anak yang baik, patuh dan sangat setia kepadamu. Jika nanti kau kembali ke Mandaraka, tidak urung nanti Pegang teguhlah janjimu”.

Narasoma tidak mampu menatap Bagaspati, dengan bibir bergetar ia mencoba memaksa mulutnya untuk mengucapkan sumpah dihadapan sang resi bahari.
“Bopo resi… Demi langit dan bumi ananda bersumpah tidak akan menyia-nyiakan Setyawati. Setulus cinta ananda kepadanya, ananda akan selalu menjaganya, sehidup semati”.
Hanya itu yang mampu diucapkan Narasoma, begitu sulit bibirnya untuk berkata-kata, seperti ada beban batin yang menghimpitnya. Bagi Bagaspati, sedikit ucapan Narasoma itu telah menyejukan hatinya, menenteramkan pikirannya. Bagaspati lalu menjelaskan aji kesaktian Candrabhirawa yang akan diturunkan kepadanya. Candra yang berarti bulan dan bhirawa yang mengandung arti kegelapan bermakna ‘bulan yang menerangi kegelapan’. Bulan yang diumpamakan sebagai tempat cahayanya hati orang-orang yang arif, cahaya yang keluar dari hati memantulkan kekuatan yang tidak dimiliki oleh benda-benda lainnya. Cahaya itu dapat melembutkan kerasnya hati dan pikiran manusia, sehingga dapat membentuk peradaban yang berguna bagi alam semesta, maka jadilah seseorang yang mampu menentramkan dan menyenangkan bagi sesamanya. Bagaspati mengingatkan bahwa aji Candrabhirawa sangat ampuh, namun aji kesaktian itu akan sangat tidak bertuah jika hanya dipergunakan untuk mengagungkan nafsu diri dan keserakahan.

Malam kian larut, bulan yang bersinar dengan bintang gumintangnya menghias malam, sementara awan hitam mulai merayap, sedikit demi sedikit gumpalannya yang hitam mulai menyaput, memupuskan cahaya rembulan. Setyawati telah datang membawa perlengkapan upacara dan sesaji, yang menurut mereka adalah upacara untuk menurunkan aji Candrabhirawa. Kain kafan dibentang, wangi dupa dan kembang menebar di ruang pesangrahan, api pancaka mulai bergemeletakan ketika Resi Bagaspati mulai melakukan mujasmedi melantunkan doa. Selanjutnya suasana hening, Bagaspati mengatupkan mulutnya, mengheningkan cipta. Di hadapannya, Narasoma mengikuti segala apa yang diperintahkan sang resi, sedangkan Setyawati hanya duduk menunggu dua orang manusia yang sangat disayanginya, tanpa mengetahui apa-apa yang akan terjadi. Setyawati yang polos, Setyawati yang lugu.

Sekelebat cahaya keluar dari tubuh Bagaspati, namun cahaya itu seperti ragu untuk meninggalkan jasad sang resi. Di alam sunyaruri awang uwung suwung, alam diantara ada dan tiada, alam hening yang jauh dari segala jasad kasar, dimana saat itu hanya Bagaspati yang merasakannya;
“Candrabhirawa, keluarlah! Dihadapanku adalah ahli warisku, menyatulah kau dengannya, aku ingin pergi ke alam keabadian yang sejati. Telah tiba waktunya bagiku untuk pulang ke alam kelanggengan. Keluarlah… Candrabhirawa, ikutlah kau bersamanya, bersama menantuku, Narasoma sebagai pewaris kejayaan Candrabhirawa.”

"Bopo resi… kenapa bopo mengeluarkanku dari gua garba, bopo… Aku hanya ingin ikut dengan bopo resi, aku meragukan gua garba ahli warismu. Dia tidak memiliki darah putih sepertimu bopo…”

“Percayalah padaku, Candrabhirawa. Menantuku seorang yang baik, patuh dan berbudi luhur, cobalah menyesuaikan diri bersemayam dengannya.”

Awalnya Candrabhirawa menolak, tetapi pada akhirnya dengan sangat terpaksa ia menuruti kata-kata Resi Bagaspati. Candrabhirawa melesat keluar dari garba Bagaspati dan seketika merasuk ke dalam gua garba Narasoma. Putra Mandaraka sempat bergetar tubuhnya saat menerima penyatuan Candrabhirawa. Dilain pihak, berbarengan dengan keluarnya Candrabhirawa dari gua garba Bagaspati, maka ruh Bagaspati pun terlepas dari jasadnya. Sang resi ambruk dari dampar pesangrahan, jatuh ke dalam Pancaka Braja. Dewi Setyawati menjerit tatkala melihat ayahnya terkapar di api pembakaran. Narasoma terkejut, ia segera memeluk Setyawati yang saat itu menangis menjerit ketika mengetahui ayahandanya telah menghembuskan nafas. Itulah jawaban Resi Bagaspati. Narasoma menyesali diri, ia merasa sangat bersalah..........

sumber link :

0 komentar:

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2014 Catatan Belajar | Tips Dan Trik - All Rights Reserved
Blog creatif By : Wildan Taupiq | Proudly powered by : Blogger