News Article :

Catatan Belajar | Tips Dan Trik

Home » » Dewi Pujawati / Narasoma IV

Dewi Pujawati / Narasoma IV

Dewi Pujawati putri Resi Bagaspati

Sementara waktu berputar digaris edarnya, di pertapaan Argabelah, Pujawati telah tumbuh menjadi gadis dewasa, wajahnya cantik jelita tidak berbeda dengan para bidadari hapsari penghuni kahyangan Maniloka. Tidak sia-sia Bagaspati mencurahkan seluruh kasih sayangnya terhadap Pujawati, sebab ia tumbuh menjadi anak yang baik, berbakti dan sangat patuh kepada ayahnya. Suatu hari Pujawati bermimpi dalam tidurnya, ia bermimpi bertemu dengan seorang kesatria tampan yang mampu merebut simpatiknya. Mimpi itu kerap terjadi berulang-ulang membuat Pujawati jatuh rindu. Ada harapan tumbuh di dalam hati, dara jelita penghuni hutan Argabelah ini mendamba cinta, hingga hari-harinya larut dalam lamunan. Melihat putri tercinta sering melamun seorang diri, Bagaspati menjadi sangat prihatin. Apakah Pujawati merindukan ibunya? Sungguh malang nasib si buah hati jika benar-benar sangat merindukan pertemuan dengan ibunya, dari kecil ia tidak pernah melihat paras ayu ibunya, ia hanya mendengar dongeng dan dongeng kisah ibunya sebelum tertidur, sambil mendekap erat golek-golek kayu akar pohon, memejamkan kedua mata indahnya, dan lalu menggapai mimpi-mimpi indahnya bersama putri raja dan pangeran. Begitu yang tersirat dalam pikiran Resi Bagaspati.

Putriku Pujawati, ada apakah gerangan yang mengganggu hati dan pikiranmu sehingga beberapa hari ini bopo sering melihamu melamun? Katakanlah putriku. Bopo sangat sedih jika melihatmu seperti itu. Apakah kau merindukan ibumu?"


Pujawati menggeleng pelan. "Ananda tidak sedang merindukan ibu, bopo resi. Ananda tahu, mungkin ananda tidak akan pernah dapat bertemu dengannya, seperti yang pernah bopo ceritakan. Ananda pun telah merelakannya. Bagi ananda, bopo resi sudah lebih dari cukup mewakili kasih sayangnya."


"Lalu apa yang menjadi rasa gundahmu, putriku?"

Pujawati yang lugu, akhirnya berterus terang. Ia menceritakan segala ihwal mimpinya, mimpi bertemu dengan seorang lesatria yang mengaku bernama Narasoma dari negeri Mandaraka, kini kesatria itu telah mengganggu relung-relung hatinya. Bagaspati terharu tapi juga bahagia mendengar ungkapan sang putri, tidak disangka walau ia hanya seorang gadis gunung, hidupnya di tengah hutan belantara, namun di hatinya telah tumbuh cinta, lumrahnya seorang manusia normal. Walau Pujawati merindukan pangeran yang hadir lewat bunga-bunga tidurnya, Bagaspati yakin itu adalah takdir perjodohan yang telah digariskan. Bagaspati berjanji kepada putrinya untuk mencari kesatria itu, di ujung dunia pun akan ia cari dan akan dibawanya pulang untuk dipersembahkan kepada sang putri.


Pucuk dicinta ulam pun tiba. Setelah sekian beberapa hari Bagaspati melayang-layang di udara mencari sosok kesatria yang digambarkan oleh putrinya, kini pencarian itu membuahkan hasil. Bagaspati bertemu dengan Narasoma dalam sebuah perjalanan pengembaraannya. Bagaspati menceritakan ihwal mimpi putrinya kepada Narasoma, dan menyimpulkan bahwa mimpi itu mungkin saja telah menjadi takdir perjodohan diantara mereka. Sang resi mengajak Narasoma untuk ikut ke pertapaan Argabelah. Di atas punggung kudanya dengan jumawa putra Mandaraka menolak.

“Cuih! Siapa sudi menikah dengan raksasa!”
Bagaspati meyakinkan bahwa putrinya sangat cantik jelita, sebab ia adalah keturunan seorang bidadari hapsari, ibunya adalah seorang dewi dari kahyangan. Akan tetapi semua ucapan Bagaspati sedikit pun tidak membuat Narasoma percaya, siapapun tidak akan percaya seorang raksasa mempunyai anak seorang putri cantik jelita, begitu pikirnya. Tetapi karena Bagaspati terus menerus mendesak agar dirinya ikut serta ke Argabelah, dan hal tersebut dianggap sebagai paksaan, maka Narasoma menjadi marah. Siang itu cuaca sangat cerah. Matahari memancarkan sinarnya tatkala putra Mandaraka melepaskan panah-panah saktinya. Panah-panah itu berdesingan menghujani tubuh Bagaspati. Sang resi tidak bergeming dari tempatnya berdiri, ia membiarkan anak-anak panah itu mengenai sasarannya dengan tepat.

Trak! Trak!

Tidak satupun panah Narasoma mampu menembus kulit tubuh Bagaspati. Narasoma semakin marah, menganggap raksasa dihadapannya sedang memamerkan ilmu kekebalan, maka dengan sigap ia melayang dari atas kudanya, menerjang Resi Bagaspati. Pertempuran terjadi cukup hebat, Narasoma cukup mumpuni dalam hal kanuragan, ia seorang kesatria pilih tanding yang cukup disegani diantara kesatria-kesatria negara sahabatnya. Akan tetapi Bagaspati tidak melayaninya dengan sungguh-sungguh, karena ia tidak ingin Narasoma yang menjadi pujaan hati putrinya terluka. Setelah cukup bagi Bagaspati untuk menguji calon menantunya ini, ia pun segera mengakhiri pertarungan, dengan pukulan sakti ajian ginengnya, ia melumpuhkan Narasoma. Putra Mandaraka terkulai lemah tidak berdaya hingga Bagaspati memanggulnya dan membawanya ke pertapaan Argabelah.


Sesampainya di Argabelah, setelah Narasoma tersadar dari pinsannya terkesima melihat kecantikan dewi Pujawati, tidak dapat ditolak suara hatinya, bahwa ia pun jatuh cinta kepada putri Bagaspati. Mereka berdua lalu dinikahkan oleh Bagaspati. Berhari-hari Narasoma sementara itu tinggal di pertapaan Argabelah mengarungi lautan madu bersama Pujawati, istrinya yang sangat dicintai. Entah kenapa, walau hati Narasoma terasa berbunga-bunga mendapatkan seorang istri yang selama ini menjadi idamannya, tetapi hati kecilnya yang lain merasa gelisah, ada sesuatu yang mengganjal hatinya. Kenapa setiap kali berdekatan dengan ayah mertuanya, ia merasa risih dan tidak betah. Dan jika ayah mertuanya menanyakan kapan Narasoma akan memboyong pulang Pujawati ke Mandaraka, Narasoma selalu mengelak, ia selalu beralasan masih ingin menikmati hidupnya di pegunungan Argabelah. Begitulah, setiap hari Narasoma pergi berburu menghindari Bagaspati, paling tidak agar dalam sehari-harinya ia tidak selalu berlama-lama bersanding dengan ayah mertuanya. Siang hari ia berburu, malamnya baru pulang. Sebenarnya Pujawati merasa sangat kesepian, karena ia masih ingin bercengkrama, bersenda gurau dan berkasih mesra menikmati siang hari yang indah di bukit nan penuh bunga, di pegunungan Argabelah. Begitupun yang dirasakan Bagaspati. Sang resi sangat prihatin dengan sikap menantunya yang sering meninggalkan putrinya seorang diri, karena hari-hari itu seharusnya milik mereka, hari-hari bahagia dimana seorang pasutri berkasih mesra. Dan ketika Bagaspati mencoba menawarkan diri melakukan perburuan, Narasoma selalu menolak. Padahal Bagaspati merasa senang jika ia dapat memberikan sesuatu untuk kebahagiaan mereka.


Pada suatu hari seperti biasanya Narasoma melakukan perburuan di hutan sekitar pegunungan Argabelah. Di tengah hutan belantara itu Narasoma sering merenung sendiri, ada perasaan gundah, bingung, kepada siapa harus ia curahkan isi hatinya itu, pada Pujawati? Tidak mungkin. Ia tidak bisa mengatakannya kepada Pujawati. Ia sangat menyayangi istrinya, ia tidak mau melukai hatinya. Menjelang sore hari Narasoma tidak mendapatkan hewan buruan sebab hari itu ia habiskan dalam lamunan kegelisahan hatinya. Ia memutuskan untuk bermalam di tengah hutan sampai esok hari kembali melakukan perburuan, walau perburuan hewan hutan itu hanya sebagai alasan saja tetapi Narasoma tidak ingin melihat istrinya menjadi kecewa setelah beberapa lama pergi namun tidak mendapat hasil tangkapan.

Malam yang dingin dan pekatnya hutan tidak mampu tertembus cahaya bulan. Malam itu Narasoma melihat bayangan seekor babi hutan yang sedang mengendap di rerimbunan tanaman liar. Ia mencoba membidikan anak panahnya, membangkitkan kepekaan naluri berburunya, dan anak panah pun melesat. Bidikan Narasoma meleset dari sasaran, babi hutan melarikan diri. Entah karena gelapnya malam yang mengganggu pandangannya, atau karena kegelisahan hati yang telah membuyarkan konsentrasinya? Narasoma mencoba mengejar babi hutan tadi, ia masuk lebih dalam ke dalam hutan. Nun tidak seberapa jauh dari tempat Narasoma melepaskan anak panahnya tadi, ada sebuah goa yang dijadikan sebagai tempat pemujaan & bertapanya seorang resi. Tanpa sepengetahuan Narasoma, anak panah yang dilepasnya tadi telah melukai ibu salah satu jari tangan sang resi hingga putus. Resi pertapa sangat marah dengan perbuatan yang dilakukan seorang pemburu yang telah melukainya, ia segera mencari orang tersebut untuk dimintai pertanggungjawaban. Sang Resi menyusuri hutan namun yang dicarinya tidak ditemukan, tetapi ia terus mencari, menjelajahi hutan pegunungan Argabelah.

Bersambung Klik di Sini

sumber : cerita wayang

0 komentar:

Post a Comment

 
Support : Copyright © 2014 Catatan Belajar | Tips Dan Trik - All Rights Reserved
Blog creatif By : Wildan Taupiq | Proudly powered by : Blogger